Arsitektur

 

Rumah
Lobo

Galeri Foto

 

 

Peta

Bahasa

Daftar Pustaka

Adriani, Nicolaus & Albert C. Kruyt

1899 “Van Posso naar Todjo” (Perjalanan dari Poso ke TojoMNZG 43(1): 1-46.
1912 De Bare’e-Sprekende Toradjas van Midden-Celebes (Penduduk Toraja yang berbahasa Bare’e)(3 jilid, dilengkapi sebuah peta bahasa) (4 vols.) (Batavia: Landsdrukkerij).

Ketiga jilid buku ini merupakan monografi lengkap daripada penduduk Toraja di Sulawesi Tengah bagian timur yang berbahasa Bare’e. Jilid I dan II masing-masing setebal 426 dan 468 hlm berisi monograf lengkap yang ditulis bersama Adriani dan Kruyt.

Jilid 1: Pada halaman 184-195 terdapat uraian mengenai peralatan rumah dan senjata api penduduk Toraja yang berbahasa Bare’e di Sulawesi Tengah. Peralatan rumah terdiri dari: tungku (tempat api) disebut posudo atau tondi. Tikar tidur, berbagai keranjang diantaranya yang memakai tutup yakni bungge, tempat menyimpan harta benda keluarga. Penahan hujan tersebut boru atau boya. Tempat tidur bayi disebut kobati. Sedang alat senjata ialah labu: parang, penai: pedang, kanta: perisai, mambunu: lembing. Pada jilid I halaman 403-406 diuraikan mengenai cara-cara pengobatan pada penduduk Toraja yang berbahasa Bare’e. Ada beberapa cara pengobatan yang dikenal penduduk. Pertama ialah cara pengobatan biasa artinya dengan menangani langsung bagian atau tubuh si sakit. Sedang macam pengobatan yang kedua ialah dengan pertolongan seorang dukun/shaman. Pengobatan jenis pertama seperti: Mosupa ialah dengan meludahi bagian tubuh yang sakit dengan kunyahan daun-daunan tertentu atau binatang tertentu. Kunyahan daun sirih dipoleskan pada kepala atau pada dada si sakit yang demam panas, agar dapat mendinginkan si sakit. Mangkomosi yakni dengan menempelkan daun-daunan tertentu pada bagian tubuh si sakit, misalnya mata bengkak harus ditempel daun sirih dan daun bawang atau batang tanaman puso (Lat. Amomum Album Bi). Untuk mengobati luka dalam dan keracunan ialah dengan daun tomare (Lat. Lathropha Curcas). Pengobatan dengan jalan memandikan si sakit dengan air bercampur ramuan tumbuhan tertentu. Pengobatan dengan meminumkan tuak/air yang sebelumnya sudah dicelupkan ke dalamnya bagian tubuh manusia atau binatang, misalnya kulit tengkorak. Pengobatan dengan benda-benda dari besi seperti parang yaitu setelah dipanaskan lalu ditempelkan pada si sakit. Pengobatan dengan cara mengurut. Mompadela ialah pengobatan dengan mengalirkan darah jika orang sering pusing kepala. Pengobatan jenis-jenis tersebut di atas mengenal pelbagai pantangan. Misalnya si sakit tidak boleh makan beberapa jenis tumbuhan dan binatang tertentu, seperti: buah labu (Lat. Legendaris Vulgaris Ser), ketimun, jagung, cabe dan daging kerbau putih. Pengobatan lainnya ialah dengan pertolongan dukun yang dilakukan dengan cara bernyanyi semalaman di dalam selubung kain fuya. Selama itu jiwa si dukun keluar dari tubuhnya pergi ke langit untuk memanggil semangat atau kekuatan hidup yang diperlukan si sakit agar kekuatannya bertambah atau pulih kembali. Dalam tugas itu si dukun dibantu oleh roh-roh yang tinggal di langit atau di awan. Pada akhir nyanyiannya sang dukun menyatakan telah beroleh semangat yang dibutuhkan, kemudian setelah selesai bernyanyi maka kepala si sakit diusapi yang katanya menyalurkan kekuatan hidup melalui kepalanya. Lalu dalam jilid II terdapat sedikit uraian mengenai cara pengguguran (aborsi).

Jilid 2: Pada halaman 2-54 terdapat uraian mengenai pola menetap dan bentuk rumah penduduk Toraja Barat di Sulawesi Tengah, berikut upacara atau pesta yang berhubungan dengan pembangunan rumah. Juga dijelaskan tentang balai sakral. Menurut penulis, ada 3 tipe rumah tinggal, yakni: 1. Tipe A, yaitu tipe rumah orang Napu, Besoa dan Koro. 2. Tipe B, ialah tipe rumah orang Kulawi. 3. Sedang Tipe C ialah rumah orang Kaili-Sigi yang banyak mendapat pengaruh tipe rumah orang Bugis. Pada halaman 217 terdapat uraian mengenai pakaian penduduk Toraja dari Sulawesi Tengah. Bahan pakaian dulunya terbuat dari fuya tetapi kini hampir seluruhnya dari bahan katun. Pakaian pria terdiri atas : banga atau cawat, bagian badan atas tanpa baju kecuali pada upacara atau pesta memakai baju (seperti baju pria suku Makasar). Sehelai sarung yang dililitkan di bahu merupakan pelengkap pakaian, sekaligus berfungsi sebagai selimut penahan dingin. Di atas kepala biasanya memakai ikat kepala dari kain fuya yang berwarna. Tiap warna dan hiasan yang ditaruh sesuai dengan jumlah berapa kali si pemakai turut dalam peperangan/pengayauan. Sebuah kampuh sirih watu tu namanya ialah tempat sirih, kapipi merupakan pelengkap pakaian pria yang penting. Di dalam watutu biasanya juga tersimpan beberapa biji jagung (yang telah kering) atau juga batu putih kecil-kecil yang digunakan untuk keperluan meramal. Pakaian wanita terdiri dari. Pariba (sarung), bagian atasnya karaba atau lembe (semacam blus lengan pendek). Pakaian sehari-hari biasanya berwarna hitam dan tidak diberi hiasan apa pun. Pakaian untuk pesta/upacara dibuat dari bahan fuya yang lebih halus dan tipis sehingga seperti kertas dan hanya tahan dipakai selama pesta/upacara saja (biasanya 3 sampai 7 hari) setelah itu biasanya sudah koyak. Pakaian ini diberi warna yang menyolok dan sering diberi macam-macam hiasan. Di daerah pegunungan seperti daerah Bada’, Napu, Besoa dan Kulawi pakaian para wanita bahagian bawah tampak seperti rok bersusun. Sebagai kelengkapan dan hiasan dipakai tudung kepala yang disebut toru atau tinii, ada yang dihiasi dengan potongan-potongan kain dan potongan-potongan mika. Kalung manik-manik ialah sogiti. Semakin tua umur manik-manik tersebut semakin berharga karena ia dianggap mengandung daya kekuatan yang dapat memperkuat semangat hidup pemakainya Sogoti yang lebarnya 5 span dinilai seharga 1 budak sedang yang hanya 1 span seharga seekor kerbau. Subang (jali) dari kayu, kemudian gelang tangan dan gelang kaki ada yang terbuat dari tembaga. Perlengkapan seorang gadis biasanya memakai seuntai rumput/tanaman yang berbau harum biasanya dari tanaman tertentu yakni porotomu, daun peterseli. Tanaman ini diselipkan di sarung bagian belakang di pinggang bagian belakang. Pada masa lalu para wanita yang belum kawin adalah aib bila tidak memakai baju atau penutup dada, sedang bagian-bagian tersebut telanjang saja bagi mereka yang telah bersuami karena sedang bekerja, kecuali bila masa panen mereka diharuskan memakai baju sebagai penghormatan terhadap padi. Pada halaman 196 diuraikan mengenai makanan dan minuman dari penduduk Toraja yang berbahasa Bare’e di Sulawesi Tengah. Makanan utama penduduk ialah beras, kemudian jagung dan sejenis gandum atau wailo (Lat. Sorghum Vulgare), dan sagu (Lat. Metroxylon). Jenis tumbuhan yang dimakan sebagai sayuran ialah ketimun, labu, kacang-kacangan dan sebagainya. Jenis daging seperti daging kerbau, babi dan ayam serta kambing umumnya dimakan dalam rangka pesta atau upacara saja. Minuman yang digemari penduduk ialah tuak (pongasi) yang dibuat dari beras. Pada halaman 379 terdapat uraian mengenai alat-alat musik yangdimainkan penduduk Toraja Sulawesi Tengah. Alat-alat tersebut ialaha. Gendang, dari bentuknya dapat dibedakan atas 3 jenis yakni gendang ganda, gendang yang bentuknya amat besar biasanya disimpan dibalai sakral. 2. Gendang tibu, bentuknya serupa gendang ganda hanyaukurannya lebih kecil. Kedua jenis ini tersimpan di balai sakral digantung dalam lobo. 3. Gendang karatu, ialah gendang kecil yang ping-gangnya ramping membunyikannya harus diletakkan di lantai. b. Jenisalat musik tiup seperti terompet (tambolo) terbuat dari bambu, danada pula terompet dari kerang triton. Dibunyikan bila pulang dariperang sebelum masuk desa. Kemudian suling yang dibedakan atas:1. Lolowe, yakni suling yang ditiup dengan mulut dan 2. Sanggona,suling yang ditiup dengan hidung. c. Alat musik gesek atau yang bertali seperti geso-geso dunde (instrumen dengan 1 snar), dan tandilo, d. Ree-ree, ialah instrumen musik dari bambu dengan tali-tali (snar) yang umum dimainkan oleh kanak-kanak setelah panen.

Jilid 3: Jilid III setebal 717 hlm khusus berisi bahasa dan kesusastraan Bare’e yang dikerjakan. Pada jilid IlI halaman 461-710 terdapat uraian mengenai bentuk-bentuk puisi penduduk Toraja Bare’e dari Sulawesi Tengah. Menurut penulis ‘di sana terdapat 5 jenis puisi. Pertama ialah golongan pantun 4 baris seperti kajori, balingoni atau disebut laolitani. Isi pantun-pantun tersebut ialah tentang percintaan nasihat dan sebagainya Polinga atau Popasangke ialah nyanyian bersahut-sahutan waktu panen. Jonjo Awa ialah nyanyian dengan reffrein pada waktu me nunggui jenasah Sedangkan Ohaio ialah nyanyian para pembuat perahu yang mengisahkan proses pembuatan perahu. Dulua ialah syair yang berisi soal-soal politik, kata-katanya banyak mengambil kata-kata dari bahasa Indonesia/daerah lain. Kedua ialah puisi tarian yang mengiringi tarian raego misalnya. Ketiga ialah syair yang dinyanyikan dalam hubungan perang dan pengayauan seperti pondolu dan ento yang mengisahkan jalannya perang dan pengayauan. Khusus ento merupakan bagian dari pesta/upacara penyambutan para pendekar yang kembali dari peperangan, mereka disambut di Balai Sakral. Ke-empat ialah puisi keagamaan yang berupa mantra-mantra dan doa yang dinyanyikan. Kelima ialah nyanyian kanak-kanak untuk meng- iringi bermain dan nyanyian untuk menidurkan anak.

Bagian I: Bab I Het Gebeid der Toradja’sche talen (Wilayah Bahasa Toraja); Bab II Bijzonderheden omtrent de Bare’e Taal (Detail tentang Bahasa Bare’e); Bab III Bijzondere taal in het Bare’e (Bahasa khusus di Bare’e); Bab IV Het Bare’e als Toradja’sche taal (Bare’e sebagai bahasa Toraja).

Jilid 4 (Platten en Kaarten) (Foto-foto dan Peta).

Haliadi-Sadi

2018 Biografi Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda Kabupaten Tojo Una-Una 2016-2020

Hoëvell, G.W.W.C. Baron van

1893a “Todjo, Posso en Saoesoe” (Tojo, Poso Dan SausuTijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 35(1): 1-47
1893b “Bijschrift bij de Kaart der Tomini-Bocht.” (Keterangan Peta Teluk TominiTNAG Second Series (X): 64-72

Maengkom, F.R.

1907 “Dagboek van een tocht uit Todjo naar Mori (Midden-Celebes), en terug naar het Poso-Meer”  (Buku Hadrian perjalanan dari Todjo ke Mori (Sulawesi Tengah), dan kembali ke Danau PosoTijdschrift KNAG tweede series 24: 855-71.

Schuyt, P.

1915 Het Tegenwoordige landschap Todjo” (Lanskap Saat Ini Tojo) MNZG 59: 262-92.